Rabu, 02 Februari 2011

Renungan

Sepasang suami istri setengah baya sedang berbincang-bincang ringan di rumahnya. Mereka membicarakan Kisah Kera Perkasa dan seorang pemburu yang mengkhianatinya. Pada Relief Candi Borobudur terpahat kisahnya. Mereka mendiskusikan dengan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna. “Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir” dan “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” adalah dua buah buku di antaranya.
Sang Istri: Kala mencari hewan buruan di hutan, seorang pemburu tersesat jalan. Dia beristirahat di bawah pohon dalam keadaan kelaparan, kehausan dan kecapekan. Tiba-tiba dia melihat di depannya ada pohon buah-buahan. Dengan menggunakan sisa-sisa tenaganya dia memanjat pohon tersebut berusaha memetik buah-buahan. Di dahan kecil buah-buahan tersebut berada. Saat akan mengambil buah-buahan, dahan tersebut tak kuat menahan tubuhnya. Sang Pemburu jatuh ke dalam lubang yang berada di bawahnya. Sang Pemburu sudah putus asa, rasanya dia akan mati di sana. Beberapa kali dia berteriak, akan tetapi yang menjawab hanya gaung teriakannya saja……. Seekor kera perkasa datang dan bertanya, Sang Pemburu sampai jatuh ke dalam lubang apa sebabnya. Mendengar penjelasan Sang Pemburu, Sang Kera Perkasa tersentuh hatinya. Ditolongnya Sang Pemburu keluar dari lubang dan dibawa keluar hutan dengan cara dipanggulnya. Sang Pemburu berterima kasih telah diselamatkan nyawanya bahkan untuk sampai jalan keluarnya dia pun dipanggul Sang Kera Perkasa. Tinggal sedikit saja keluar hutan, Sang Kera Perkasa kecapekan. Dia ingin tidur sebentar memulihkan kekuatan. Setelah memanggul Sang Pemburu setengah harian……… Sang Pemburu berpikir, tepi hutan sudah di depan mata. Rasa lapar tidak terkira. Pikiran memang maunya menang sendiri saja. Kepentingan pribadi menjadi panglima. Orang lain? Emangnya gua pikirin? Melihat kera perkasa ketiduran, seakan dia melihat sebuah binatang buruan. Mengapa Sang Kera tidak dibunuh saat ketiduran? Bila sudah bangun tak mungkin dia sanggup melawan. Sang Pemburu membawa batu api dan daging kera dapat dipanggang sebagai obat laparnya. Dan sebagian dapat dibawa pulang untuk persediaan makanannya. Diambilnya sebuah batu besar dan dilemparkannya kepada Sang Kera Perkasa. Entah apa yang terjadi Sang Kera Perkasa memalingkan wajahnya. Sehingga batu besar hanya melukai telinganya. Sang Kera Perkasa terbangun dan segera sadar apa telah yang terjadi. Rasa luka di telinganya dia tidak ambil peduli, tetapi ada rasa sesal mengapa ada orang yang tidak tahu membalas budi. Mengapa Sang Pemburu yang hampir mati dan baru saja ditolongnya sudah menjadi serakah tak terkendali. Dia segera memanggul sang gembala ke luar hutan, meletakkan di jalan dan kemudian masuk kembali ke hutan……. Setahun kemudian, seorang raja berburu ke hutan. Di tengah hutan bertemu manusia yang dalam keadaan sekarat dengan tubuh tidak terawat dalam keadaan sangat mengenaskan. Sang manusia menceritakan kisahnya bahwa dia pernah ditolong kera tetapi kera tersebut hampir saja dibunuhnya. Sang kera selamat hanya terluka telinganya. Sang Kera tetap menolongnya ke luar hutan dan kemudian menghilang dengan segera. Selanjutnya dia bercerita, tak lama kemudian di mendapat sakit kusta dan dia diusir dari masyarakat. Dia menyesal telah berbuat jahat. Kemudian dia hidup terlunta-lunta. Dia diberitahu orang bahwa Sang Kera Perkasa adalah seorang Bodhisattva. Dengan terbata-bata sang penderita kusta memberi nasehat, jangan sampai keserakahan menutupi nurani manusia. Setelah berkata demikian dia menghembuskan nafasnya…….
Sang Suami: Sang Kera Perkasa, tertegun sebentar kemudian melanjutkan tindakan menolong Sang Pemburu keluar hutan. Dia tidak menyesali telah berbuat kebaikan walau dibalas dengan kejahatan…. Dharma atau kebajikan adalah ketepatan bertindak, juga berarti kebaikan dalam arti kata seluas-luasnya. Menjalankan tugas kewajiban kita dengan baik dan tepat adalah juga dharma. Menjalani hidup ini demi kebaikan adalah juga dharma. Ketepatan dalam hal berpikir dan berperasaan adalah juga dharma. Dharma adalah kemanusiaan dalam diri manusia. Dharma adalah kesadaran berperikemanusiaan. Bagi seorang prajurit, membunuh musuh di medan perang adalah dharma. Bagi seorang rohaniwan, dharma adalah memaafkan seorang penjahat, sekalipun ia telah berlaku keji dan nista….. Kebaikan adalah sifat sejati Sang Kera Perkasa, dia tidak akan terpengaruh oleh peristiwa apa pun yang terjadi pada dirinya. Apa pun yang terjadi akan dia terima, karena itu adalah akibat tindakan dia di masa lalu juga. Tindakan Sang Pemburu pun tak perlu dibalasnya, akan ada hukum sebab-akibat yang menyelesaikannya. Sang Kera Perkasa paham yang terluka adalah tubuhnya dan yang sakit adalah hatinya. Jatidirinya bukanlah tubuh, bukanlah pikiran, bukanlah perasaan, tetapi adalah Dia yang bersemayam dalam tubuhnya, dalam pikirannya dalam perasaannya. Sang Pemburu merasa bahwa dirinya adalah pikirannya, sehingga di tunduk pada pikirannya dan telah melakukan tindakan tercela yang tidak selaras dengan alam semesta…….. Banyak jalan menuju “Jalan Raya”. Tetapi, sesungguhnya hanya ada dua jalan: Jalan Pengetahuan dan Jalan Pengabdian. Demikian diuraikan dalam buku “Bodhidharma”. Lewat jalan pengetahuan berarti menyadari “inti kehidupan”. Meyakini bahwa pada hakikatnya segala bentuk kehidupan memiliki “inti” yang sama. Bila “tampak dan terasa” berbeda, hal itu semata-mata karena sesuai yang kita peroleh, sesungguhnya perbedaan itu hanyalah ilusi, khayalan. Mereka yang telah melampaui dualitas dan menyadari kembali hakiki diri berada di jalur Pengetahuan. Mereka yang mengalihkan kesadaran pada kasunyatan, kekosongan, mereka yang tidak lagi membedakan diri dari yang lain, mereka yang menganggap sama awam dan ulama berada di jalur pengetahuan. Mereka yang sudah tidak terpengaruh oleh “kata-kata”, sesungguhnya telah meneliti dan menemukan inti, berada pada Jalur Pengetahuan. “Pikiran” menciptakan dualitas, “Kesadaran” mempersatukan.
Sang Istri: Memasuki alam meditasi lewat Jalan Pengabdian berarti mempunyai kemampuan untuk menerima ketidakadilan, menyesuaikan diri dengan keadaan, berhenti mengejar sesuatu, dan menerjemahkan dharma dalam hidup keseharian. Sang Kera Perkasa melakukan bhakti melakukan pengabdian tanpa pamrih. Pengabdian yang sesungguhnya merupakan manifestasi Kasih. Dalam buku “Vedaanta” dijelaskan bahwa seorang Bhakta, seorang Pengabdi atau Pecinta Allah selalu sama dalam keadaan suka maupun duka. Keseimbangan dirinya tak tergoyahkan oleh pengalaman-pengalaman hidupnya. Ilmu apa yang dikuasai oleh seorang Bhakta sehingga ia tidak terombang-ambing oleh gelombang suka dan duka? Temyata, ilmu matematika yang sangat sederhana. Seluruh kesadaran seorang Bhakta terpusatkan kepada la yang dicintainya. Kesadaran dia tidak bercabang, ia telah mencapai keadaan Onepointedness – Ekagrataa. One, Eka – Satu…. la sudah melampaui dualitas, ia telah menyatu dengan Hyang dicintainya. la telah menyatu dengan Cinta itu sendiri. Pecinta, Hyang dicintai, dan Cinta – tiga-tiganya telah melebur dan menjadi satu, demikian dijelaskan dalam buku “Vedaanta”.
Sang Suami: Walau berwujud manusia, Sang Pemburu dalam kisah tersebut masih bersifat hewani. Sedangkan Sang Kera Perkasa, walau berwujud hewan sudah bersifat Ilahi….. Dalam buku “Kundalini Yoga” diuraikan bahwa alam bawah sadar kita masih terpengaruh naluri hewani. Itu sebabnya kita tidak segan-segan mencelakakan orang lain, demi kepentingan diri. Kita harus melanjutkan perjalanan kita. Berada pada tingkat ini pun, sebenarnya kita berbadan manusia, tetapi belum cukup manusiawi. Bukan hanya kenyamanan diri, kita juga harus bisa memikirkan kenyamanan orang lain. Untuk itu kita harus meningkatkan kesadaran kita sedikit lagi lepas dari pengaruh naluri hewani. Berada pada tingkat kesadaran kasih, kita baru mengambil langkah pertama dalam hal memanusiakan diri. Kasih merupakan sifat manusia. .. Kasih mampu menyaring sifat-sifat hewani kita.
Sang Isteri: Sang Kera Perkasa sudah mempunyai sifat keilahian……. Keilahian, Kemuliaan adalah Kebenaran Sejati Manusia. Dan Keilahian ini tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa ditimbun sebagaimana mereka menimbun harta benda. Yang kaya telah melupakan Keilahian dirinya, Kemuliaan dirinya dan mengikat diri dengan kekayaannya. Begitu pula dengan yang muda. Ia melepaskannya demi kenikmatan dan kesenangan sesaat yang dinginkannya. Kita tidak bisa membeli “Keilahian” ataupun “Kemuliaan”. Bahkan kita tidak perlu membelinya, karena “Keilahian” itulah kebenaran diri kita, karena “Kemuliaan” itulah jatidiri kita. Sebagaimana kebinatangan adalah sifat dasar binatang dan kemanusiaan adalah sifat dasar manusia, begitu pula “Keilahian” adalah Sifat Dasar Tuhan. “Kemuliaan” adalah Sifat Dasar “Ia Yang Maha Mulia”. Dan itu pula yang Ia berikan kepada kita. Sebelum orang tua memberikan nama dan menempelkan “cap agama”, Tuhan sudah membekali Kita dengan “Keilahian”, “Kemuliaan”. Demikian disampaikan dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”.
Sang Suami: Kisah ini menyampaikan tentang adanya hukum alam…… Dalam buku “Vadan, Simfoni Ilahi Hazrat Inayat Khan” dijelaskan bahwa hukum alam adalah bahasa dunia. Bila lahir dalam dunia dan hidup di dunia ini, kita harus memahami bahasanya. Hukum aksi-reaksi dan hukum evolusi atau perkembangan, itulah dua hukum utama. Landasannya adalah keterkaitan, interdependency, bila kita menebang pohon seenaknya, banjirlah akibatnya. Itu salah satu contoh dari hukum aksi-reaksi atau sebab-akibat. Dan, Bila kita membunuh manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya, jangan kira kita akan lolos dari hukuman. Jangan pula mencari pembenaran, bahwa kita membunuh demi atau untuk siapa dan atas nama apa. Mau mencari pembenaran sih boleh-boleh saja, asal tahu bahwa itu tidak akan meringankan hukuman kita. Kemudian, hukum perkembangan, kemajuan, evolusi, ekspansi. Segala sesuatu dalam hidup ini mengalami perkembangan. Semuanya sedang berevolusi. Tidak ada yang mengalami regresi dan kembali pada kehidupan di masa lalu. Bila tidak berkembang bersama hidup, kita akan hidup setengah-setengah. Itulah hukum evolusi. Bila kita tidak melangkah bersama waktu, waktu akan melewati kita.
Sang Istri: Suamiku, sekadar pemahaman tidak akan membantu kita. Tidak akan terjadi perkembangan jiwa dalam diri kita. Sekadar pemahaman bahkan bisa mengelabui. Kita pikir sudah paham, ya sudah cukup, lantas kita duduk diam kita lupa melakoni apa yang kita pahami. Sekadar pemahaman sangat berbahaya, karena kita bisa tertipu olehnya. Pemahaman tanpa laku, tanpa penghayatan, tidak bermakna sama sekali. Apa yang kita baca, apa yang kita pahami, harus kita lakoni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar